Info mengenai Al-Azhar University ini saya dapatkan dari http://azharku.wordpress.com/
Al-Azhar University

SEKILAS SEJARAH Al-AZHAR
Perjalanan
 panjang Al-Azhar yang kini jelang usia 1000 tahun lebih memang menarik 
disimak. Sejak dibangun pertama kali pada 29 jumada Al Ula 359 H. (970 
M.) oleh panglima Jauhar Ash shiqillilalu dibuka resmi dan shalat jum’at
 bersama pada 7 Ramadhan 361 H. , lembaga besar yang mulanya sebuah 
masjid ini bagai tak pernah lelah membidani kelahiran para ulama’ dan 
cendekiawan muslim. “Masjid sekaligus institusi pendidikan tertua,” 
itulah penghargaan sejarah buatnya.
Kehadiran
 Al-Azhar tak bias dipisahkan dari peran dinasti Fathimi yang kala itu 
dipimpin oleh Khalifah Mu’iz li dinillah ma’ad bin Al-Mansur (319-365 
H./931-975 M.), Khalifah ke empat dara dinasti fathimiyyah, jauh 
sebelumnya ketika islam mulai menyebar ke mesir (641 M.) dimasa khalifah
 umar bin khattab, pendidikan islam formal sebenarnya telah berjalan 
sejak berdirinya masjid pertama di Afrika.
Sudah
 menjadi suatu kaedah tak tertulis bahwa peradaban islam di suatu daerah
 selalu dikaitkan dengan peran masjid jami’ (masjid negara) dikawasan 
tersebut. Hal ini mungkin diilhami dari kerja nyata rasulallah SAW. 
Ketika hijrah kemadinah. Tugas pertama yang beliau lakukan adalah 
membangun masjid nabawi. Ini menandakan peran masjid yang tidak hanya 
terbatas pada kegiatan rituan semata. Tapi lebih dari itu, masjid adalah
 sentral pemerintahan islam, sarana pendidikan, mahkamah, tempat 
mengeluarkan fatwa, dan sebagainya.
Hal
 inilah yang kemudian dilakukan oleh ‘Amru bin ‘Ash ketika menguasai 
mesir. Atas perintah Khalifah Umar, panglima ‘amru mendirikan masjid 
pertama di Afrika yang kemudian dinamakan masjid ‘Amru bin Ash di kota 
Fushthat, sekaligus menjadi pusat pemerintahan islam mesir ketika itu, 
selanjutnya dimasa dinasti Abbasiyah ibukota pemeintahan ini berpindah 
lagi ke kota yang disebut Al-Qotho’i dan ditandai dengan pembangunan 
masjid bernama Ahmad bin Tholun.
Masa
 demi masa berlalu, pemeriuntahan pun silih berganti. Tiba era Daulah 
Fathimiyyah (358 H./969 M.) ibukota mesir berpindah ke Daerah baru atas 
perintah Khalifah Al-Mu’iz li Dinillah yang menugasi panglimanya, Jauhar
 Ash shiqilli, untuk membangun pusat pemerintahan. Setelah melalui tahap
 pembangunan daerah ini dinamai kota Al Qohirah.
Sebagaimana
 sejarah islam masa lalu, setiap berganti Daulah selalu ditandai dengan 
pembangunan masjid di pusat ibukota. Sehingga kurang setahun kemudian, 
beriringan dengan pembangunan kota Al-Qohirah didirikan pula sebuah 
masjid bernama Jami’ Al Qohirah (meniru nama ibu kota). Seluruhnya masih
 dalam penanganan panlima Jauhar Asg Shiqilli.
Pada
 masa khalifah Al Aziz billah, sekeliling Jami’ Al Qohirah dibangun 
beberapa istana yang disebut Al Qushur Az Zahirah. Istana-istana ini 
sebagian besar berada disebelah timur (kini sebelah barat masjid 
husein), sedangkan beberapa sisanya yang kecil disebelah barat (dekat 
masjid Al Azhar sekarang), kedua istana dipisahkan oleh sebuah taman nan
 indah. Keseluruhan daerah ini dikenal dengan sebutan “Madinatul 
Fatimiyyin Al-Mulukiyyah”. Kondisi sekitar yang begitu indah bercahaya 
ini mendorong orang menyebut Jami’ Al Qohirah dengan sebutan baru, Jami’
 Al Azhar (Berasal dari kata Zahra’ artinya yang bersinar, bercahaya, 
berkilauan).
Para
 khalifah jauh-jauh hari menyadari bahwa kelanjutan Al-Azhar tidak bias 
lepas dari segi pendanaan. Oleh karena itu setiap khalifah memberikan 
harta wakaf baik dari kantong pribadi maupun kas negara. Penggagas 
pertama wakaf bagi bagi Al-Azhar dipelopori oleh khalifah Al Hakim bi 
amrillah, lalu di ikuti oleh para khalifah berikutnya serta orang orang 
kaya setempat dan seluruh dunia islam sampai saat ini. Harta wakaf 
tersebut kabarnya pernah mencapcai sepertiga dari kekayaan mesir. Dari 
harta wakaf inilah roda perjalanan Al Azhar bisa terus berputar, 
termasuk memberikan beasiswa, asrama , dan pengiriman utusan Al Azhar ke
 berbagai penjuru Dunia.
Dari masjid ‘Amru bin Ash dan Ahmad bin Tholun, perlahan poros pendidikan berpindah ke Al-Azhar.


FASE PERALIHAN
Sudah
 menjadi semacam perjanjian tak tertulis, pada setiap khalifah Daulah 
Fathimiyyah selalu diadakan restorasi bangunan Jami’ Al Azhar. Hingga 
ketika gempa hebat sempat merusak Al Azhar pada tahun 1303 M. sultan An 
Nasir yang memerintah saat itu segera merehab kembali bangunan yang 
rusak.
Ciri
 spesifik pemugaran bangunan mulai tampak pada masa sultan Qonsouh (1509
 M.) yang merestorasi satu menara Al Azhar nan indah dengan dua puncak 
(Manaratul Azhar Dzatu Ar-ra’sain).
Penyempurnaan
 Jami’ Al Azhar kembali dilanjutkan pada periode Daulah Utsmani, dengan 
kegiatan restorasi yang tak jauh berbeda seperti sebelumnya. Klimaksnya 
dicapai pada masa Amir Abdurrahman Katakhda (Wafat 1776 M.) dengan 
menambahkan dua buah menara, mengganti mihrab dan mimbar baru, membuka 
local belajar bagi yatim piatu, membangun ruang bagi pemondokan 
mahasiswa dan pelajar asing, membuat pendopo ruang tamu, teras tak 
beratap dalam masjid, dan tangki air tempet berwudlu, singkat kata 
hampir seluruh bangunan tua yang masih tersisa di masjid Al Azhar kini 
adalah hasil karya Amir tersebut.
Seiring
 gelombang pasang surut sejarah, berbagai bentuk pemerintahan silih 
berganti memainkan peranannya di lembaga tertua ini, selain sebagai 
masjid, proses penyebaran faham Syi’ah turut mewarnai aktivitas awal 
yang dilakukan Dinasti Fathimi, khususnya di penghujung masa khalifah Al
 Muiz li Dinillah ketika Qodhil Qudhoh Abu Hasan Ali bin Nu’man 
Al-Qairiwani mengajarkan fiqih Mazhab Syi’ah, dari kitab Mukhtasyar yang
 merupakan pelajaran agama pertama di Masjid Al Azhar pada bulan Shafar 
365 H. (Oktober 975 M.).
Sesudah
 itu proses belajar terus berlanjut dengan penekanan utama pada 
ilmu-ilmu agama dan bahasa, walaupun tanpa mengurangi perhatian terhadap
 ilmu manthiq, filsafat kedokteran danilmu falak sebagai tambahan yang 
diikutsertakan.
Namun
 semenjak Shalahuddin Al ayyubi memegang pemerintahan mesir (tahun 567 
H./1171 M.), Al Azhar sempat diistirahatkan sementara waktu sambil 
dibentuk lembaga pendidikan Alternatif guna mengikis pengaruh Syi’ah. 
Disinilah mulai dimasukkan perubahan orientasi besar-besaran dari Mazhab
 Syi’ah ke Mazhab Sunniyang berlaku hingga sekarang meski tak dipungkiri
 paham syi’a dari sudut akademis masih tetap dipelajari.
FASE REFORMASI
Pembaharuan
 Administrasi pertama Al Azhar dimulai pada masa pemerintahan Sulthan Ad
 Dhahir Barquq (784 H./1382 M.) dimana ia mengangkat amir Bahadir At 
Thawasyi sebagai direktur pertama Al Azhar tahun 784 H. / 1382 M. ini 
terjadi dalam masa kekuasaan mamalik di Mesir. Upaya ini merupakan usaha
 awal untuk menjadikan Al Azhar sebagai yayasan keagamaan yang mengikuti
 pemerintah.
System
 ini terus berjalan hingga pemerintahan Utsmani menguasai mesir 
dipenghujung abad 11 H. ditandai dengan pengankatan “Syaikh Al ‘Umumy” 
yang digelar dengna Syaikh Al Azhar sebegai figure sentral yang mengatur
 berbagai keperluan pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa hokum, 
termasuk tempat mengadukan segala persoalan. Pada fase ini terpilih 
Syaikh Muhammad Al Khurasyi (1010 H.-1101 H.) Sebagai Syaikh Al Azhar 
pertama. Secara keseluruhan ada 40 Syaikh yang telah memimpin Al Azhar 
selam 43 periode, hingga kini dipegang oleh mantan mufti mesir Syaikh 
Muhammad Thanthawi.

Masa
 keemasan Al Azhar terjadi pada abad 9 H. (15 M.) banyak ilmuan dan 
ulama’ islam bermunculan di Al Azhar saat itu, seperti ibnu khaldun, Al 
farisi, As-Syuyuthi, Al ‘Aini, Al Khawi, Abdul Lathif Al Baghdadi, ibnu 
Khaliqon, Al Maqrizi dan lainnya yang banyak mewariskan ensiklopedi 
Arab.
Iklim
 kemunduran kembali hadirketika dinasti Utsmani berkuasa di Mesir 
(1517-1798 M.) Al-Azhar mulai kurang berfungsi disertai kepulangan para 
ulama’ dan mahasiswa yang berangsur angsur menninggalkan kairo. Meski 
begitu tambahan berbagai bangunan tetap diupayakan atas prakarsa amir 
amir Utsmani dan kaum muslimin sedunia.
Kepemimpinan
 Muhammad ali Pasha di Mesir pada tahap berikutnya telah membentuk 
sistem pendidikan yang paralel tapi terpisah, yaitu pendidikan 
tradisional dan pendidikan modern sekuler, ia juga berusaha menciutkan 
peranan Al Azhar sebagai lembaga yang berpengaruh sepanjang sejarah, 
antara lain dengan menguasai badan Wakaf Al Azhar yang merupakan urat 
nadinya. Seterusnya pada masa pemerintahan Khedive Isma’il Pasha 
(1863-1879 M.) mulai diusahakan reorganisasi pendidikan, dan dari sini 
pendidikan tradisional mulai bersaing dengan pendidikan modern sekuler. 
Serangan terhadap pendidikan tradisional sering tampak dari usaha yang 
menginginkan perbaikan Al Azhar sebagai pusat pendidikan islam 
terpenting.
Sejak
 awal abad 19, sistem pendidikan barat mulai diterapkan di sekolah 
sekolah mesir. Sementara Al Azhar masih saja menggunakan sistem 
tradisional. Dari sini muncul suara pembaharuan.
Diantara
 pembaharuan yang menonjol adalah dicantumkannya system ujian untuk 
mendapatkan ijazah Al ‘Alamiyah (kesarjanaan) Al Azhar pada februeri 
1872 M., juga pada tahun 1896 M., buat pertama kali dibentuk Idarah Al 
Azhar (Dewan Administrasi). Usaha pertama dari dewan ini adalah 
mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di Al Azhar menjadi dua
 preode: pendidikan Dasar 8 tahun serta menengah dan tinggi 12 tahun. 
Kurikulum Al Azhaar ikut diklasifikasikan dalam dua kelas: Al ‘Ulum Al 
Manqulah (Bidang study Agama) Al ‘Ulum Al Manqulah (Bidang study Umum).
Menyebut
 pembaharuan di Al Azhar, kita perlu mengingat Muhammad Abduh (1849-1905
 M.) mengusulkan perbaikan system pendidikan Al Azhar dengan memasukkan 
ilmu-ilmu modern kedalam kurukulumnya. Gagasan tersebut mulanya kurang 
disepakati Syekh Muhammad Al Ambabi. Baru ketika Syekh An Nawawi 
memimpin Al Azhar, ide Muhammad Abduh bisa berpengaruh. Berangsur angsur
 mulai diadakan pengaturan masa libur dan masa belajar. Uraian pelajaran
 yang bertele- tele yang dikenal dengan syarah al hawasyi 
disederhanakan. Sementara itu kurikulum seperti fisika, ilmu pasti, 
filsafat, sosiologi dan sejarah, telah menerobas A Azhar. Berbarengan 
ini puladirenofasi ruang Al Azhar sebagai pemondokan bagi guru dan 
mahasiswa.
AL AZHAR KINI
Pada
 abad XXI ini, Al Azhar mulai memandang perlunya mempelajari system 
penelitihan yang dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim 
Alumni terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amirika. Tujuan mengirim 
ini adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah ditingkat internasional 
sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan pemahaman islam yang benar. 
Cukup banyak duta Al Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari 
Universitas luar tersebut, diantaranya ialah: Syekh DR. Abdul Halim 
Mahmud, Syekh DR. Muhammad Al Bahy, Dan banyak lagi.
Sebelumnya,
 pada tahun 1930 M, keluar undang undang no 49 yang mengatur Al Azhar 
mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan membagi 
Universitas Al Azhar menjadi tiga fakultas yaitu: Syari’ah, Usuluddin, 
Bahasa Arab.
Fakultras
 induk Syari’ah wal qonun di Cairo merupakan bangunan pertama yang 
berdiri pada tahun 1930 M. semula berama Syari’ah, lalu pada tahun 1961 
dirubah menjadi nama seperti sekarang. Fakultas indul Usuluddin dan 
bahasa Arab di Kairo juga didirikan pada tahun 1930 M. penjurusan diatur
 kembali pada tahun 1961 M. fakultas Dakwah islamiyyah didirikan dengan 
keputusan presiden (keppres) no 380 tahun 1978 yang dikeluarkan pada 16 
Ramadlon 1398 H. (20 Agustus 1978). Fakultas Dirasah islamiyah wal 
Arabiyah memulai kuliahnya pada tahun 1965 M. sebagai salah satu jurusan
 dari Fakultas Syari’ah. Pada tahun 1972 keluar keppres no 7 yang 
menjadikan fakultas ini sebagai lembaga tersendiri dengan nama Ma’had 
Dirasat Al Islamiyah Wal Arabiyah (Institut of Islamic and Arabic 
studies) namun pada tahun 1976 M. keluar keppres no 299 yang kembali 
menjadikan institut ini sebagai fakultas tersendiri, dengan jurusan: 
usuluddin syari’ah islamiyah bahasa dan sastra Arab.
Angin
 pembaharuan kembali berhembus di Al Azhar pada 5 mei 1961 M. dimasa 
kepemimpinan Syekh Mahmoud Syalthout. Peran Syaikh Al Azhar diciutkan 
menjadi jabatan simbolissehingga kurang mempunyai pengaruh langsung 
terhadap lembaga pendidikan yang ada dibawah pimpinannya. Undang-undang 
pembaharuan ini disebut undang-undang revosusi mesir nomor 103 tahun 
1961 M. undang-undang ini memberikan kemungkinan besar perubahan 
structural pendidika di Al Azhar, sehingga diantarany membolehkan 
lulusan SD atau SMP Al Azhar untuk melanjutkan studinya ke SMP atau SMA 
milik Departemen pendidikan, atau sebaliknya. Dalam ruang lingkup 
pendidikan tinggi, disamping fakultas-fakultas keislaman, ditambahkan 
pula berbagai fakultas baru seperti: Tarbiyah, Kedokteran, 
Perdagangan/Ekonomi, Sains, Pertanian, Teknik, Farmasi, dan sebagainya. 
Juga dibangun fakultas khusus putrid (Kulliyatul Banat) dengan berbagai 
jurusan.
Al
 Azhar mempunyai 3 rumah sakit Universitas: Husein Hospital, Zahra’ 
Hospital, dan Bab el Sya’riah Hospital. Sementara itu, Nasser Islamic 
Mission City (Madinat Nasser Lil Bu’ust Al Islamiyah) untuk orang asing 
dibuka pada bulan September 1959 M.
Universitas
 (Jami’ah) Al Azhar hanyalah salah satu lembaga resmi yang dimiliki Al 
Azhar masih ada lembaga lain yang sempat terbentuk, seperti:
- Lembaga pendidikan Dasar dan Menengah (Al Ma’ahid A Azhariyah).
 - Biro Kebudayaan dan missi Islam (Idarah Ats-tsaqofah wal Bu’uts Al Islamiyah).
 - Majlis tinggi Al Azhar (Al Majlis Al A’la Lil Azhar)
 - Lembaga Riset Islam (Majma’ Al Buhuts Al Islamiyah).
 - Hai’ah Ighatsah Al Islamiyah.
 
Sejak
 mula berdirinya, studi Al Azhar selalu terbuka untuk semua pelajar dari
 seluruh dunia, hingga kini Universitas Al Azhar memiliki lebih dari 50 
Fakultas yang tersebar diseluruh pelosok mesir dengan jumlah Mahasiswa/i
 melebihi angka 200 ribu orang. Itulah potret Al Azhar yang tetap tegar 
dalam kurun usia senja.
KEHIDUPAN DI MESIR
Mesir
 adalah sebuah negara berkembang yang tak jauh berbeda dengan negara ke 
tiga lainnya. Kultur serta corak hidup penduduknya terkesan kasar, keras
 tapi mudah sekali lembut, dan kadang kurang teratur. Walau begitu 
adanya, tetap saja banyak warga asing yang betah berlama-lama menikmati 
negri ini.

Tempat tinggal
A. Asrama
Bagi
 Mahasiswa/i yang memperoleh beasiswa Al Azhar atau Majlis A’la, ia 
berhak tinggal; di Asrama madinatul bu’uts al islamiyah (Al Azhar) dan 
asrama Dirmalak (Majlis A’la) secara gratis. Hanya bagi penghuni bu’uts 
akan dikenakan potongan beasiswa guna Administrasi bulanan, termasuk 
makan dan listrik, pihak bu’uts juga menyediakan fasilitas yang 
terbilang lumayan berupa : kamar, dapur, ruang olahraga/fitness, Masjid 
dan lain sebagainya. Sedang Asrama Dirmalak hanya diperuntukkan bagi 
kaum Hawa saja, letaknya tidak begitu jauh dari bu’uts. Dirmalak juga 
punya peraturan khusus, disini tidak disediakan makan alias masak 
sendiri, maka dari itu biaya yang dipungut tidak begitu besar.
B. Non Asrama
Mahasiswa
 yang terjun bebas alias non beasiswa terpaksa harus menyewa rumah/flat 
dengan harga rata-rata LE 350-600 perbulan. Satu flat umumnya berisi dua
 atau tiga kamar tidur, ruang tamu, dapur, balkon, kamar mandi, perkakas
 rumah serta fasilitas musim panas, dan musim dingin seperti pemanas air
 (sakhanah), kulakas dan kompor gas. Pada flat tertentu kadang 
dilengkapi dengan sarana telfon lokal, TV serta AC, tentu dengan harga 
sewa yang lebih dari standar biasa. Menyikapi hal itu, maka satu flat 
biasanya ditempati 3-6 orang, sehingga bebanpun terasa ringan.
Konsumsi
Masak
 sendiri adalah pilihan Mahasiswa, karena makanan mesir kurang cocok 
dengan lidah melayu, apalagi bagi mahasiswa baru. Beras di Mesir cukup 
banyak tersedia juga lauk yang bias disulap layaknya khas cita rasa Asia
 Tenggara, untuk hal ini biaya per individu LE 90 per bulan sudfah 
memadai, di daerah nasr city juga ada warung Indonesia, Malaysia, dan 
Thailand.
Transportasi.
Menurut
 kebiasaan mahasiswa asing tinggal agak jauh dengan kampus, karna 
sekitar kampus Al Azhar di kawasan Husein cukup ramai oleh lalulintas 
dan pasar yang kurang mendukung suasana belajar. Khusus transportasi 
kuliah menghabiskan ongkos sekitar LE 50 perbulan.
Hal-hal tak terduga
Pada
 bagian ini, termasuk iuran organisasi kedaerahan, induk, regional, 
langganan bulletin mahasiswa, dana kesehatan dan lainnyayang memerlukan 
sedikit penyisihan uan kira-kira LE 70. simpulnya standar biaya hidup 
sederhana perbulan bagi setiap mahasiswa asing putra maupun putri 
berkisar antara US$70-90 pebulan yang digunakan untuk sewa rumah 
kolektif, telfon, makan, listrik, diktat kuliah dan hal hal tak terduga 
lainnya.
Situasi keamanan.
Suasana
 dan kondisi keamanan Mesir atau kota Kairo yang padat penduduknya masih
 memungkinkan untuk belajar tenang. Adapun gangguan keamanan yang 
terjadi sebenarnya tidak tertuju kepada mahasiswa asing. Para penduduk 
kota menghargai pelajar asing. Kegiatan belajar bersama diluar kuliah 
atau belajar bimbingan baik oleh rekan senior atau beberapa guru mesir 
hingga akhirnya pulang agak larut malam tidaklah menjadi suatu 
kekhawatiran. Memang agak berbeda dengan suasana kota-kota besar 
umumnya. Gangguan gerombolan pemuda nakal jarang ditemui. Namun demikian
 sikap kewaspadaan dan hati-hati tetap diperlukan, misalkan ketika 
menaiki bus padat saat pergi kuliah atau suatu urusan. Tawuran antar 
pelajar bisa dikatakan tidak ada. Sengketa yang mengakibatkan 
perkelahian adalah hal yang tabu di Mesir. Perang mulutpun bias any 
berakhir dengan solusi damai, tanpa dendam.
Kesempatan kerja
Seyogjanya
 bagi pelajar asing tidak memasang niat “Belajar sambil bekerja” karena 
kan mengurangi kesempatan meraih ilmu yang sebanyak-banyaknya. Apalagi 
kesempatan bekerja di Mesir tidak terbuka buat orang-orang asing, 
terlebih Mahasiswa, kecuali harus melalui prosedur kontrak resmi antar 
negara.
Kesempatan
 bekerja bagi mahasiswa asing biasanya hanya ada di Saudi arabiah pada 
musim haji. Jangan pula membayangkan hal yang terlalu muluk, mudah 
memperoleh kerja di negara tersebut, berhubung kian sulitnya birikrasi 
perolehan visa kesana.
Namun,
 sebaiknya berangkatlahn ke Mesir dengan niat belajar, bukan sebagai 
tempat transit menuju Saudi arabiah, disamping jaminan kerja belum tentu
 ada.
Visa dan Iqomah
Bagi
 orang asing yang ingin mengunjungi negara lain tentu harus mendapat 
izin masuk dari pemerintah negara tujuannya. Dinegara-negara arab 
namanya ta’syirah. Atau lebih dikenal dengan istilah visa. Pengurusan 
visa pertama ke mesir bias dilakukan dikedutaan Mesir yang berada di 
Ibukota (Jakarta), atau melalui travel-travel tertentu di beberapa kota 
besar.
Meskipun
 dipaspor anda nantinya tercantum dua bulan visa, namun itu hanya 
berlaku satu bulan saja setibanya di Mesir. Selanjutnya anda harus 
memperpanjang visa dengan izin tinggal sementara dimesir sesuai aturan 
yang berlaku.
Adapun
 tentang izin tinggal sementara (dikenal dengan istilah iqomah 
mu’aqqatah) atau recidence permite, dan di Indonesia dinamakan 
Keterangan Izin Menetap Sementara atau KIMS), Mesir merupakan negara 
yang paling toleran bagi pelajar serta Mahasiswa ketimbang negara-negara
 Arab lainnya

Wisma Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir
Tempat
 tinggal merupakan bagian yang terpenting ketika sudah mendarat di Mesir
 ini, khusus warga KMKM, sudah ada penempatan untuk mahasiswa yang baru 
datang, selain dapat bantuan dari KMKM, juga membuat kita merasa nyaman 
untuk suasana belajar, kalau pun tidak menginginkan di wisma, KMKM juga 
sudah menyiapkan beberapa rumah yang siap sedia untuk di tempati.
–salam penduduk KMKM–










1 comment:
:) subhanaullah bgs,,,like that
Post a Comment
Berkomentar berarti berpendapat
Berpendapat berarti berapresiasi
Berapresiasi berarti menghargai