Menjadi Dokter Itu Mahal dan Lama
Pendidikan
itu mahal. Semua orang di Indonesia pasti setuju dengan pernyataan itu.
Terlebih pasca resesi ekonomi, jumlah angka “drop out” sekolah
khususnya sekolah tinggi meningkat tajam, akibat keterbatasan uang untuk
membiayai sekolah. Pemerintah memang telah memberikan keringan melalui
program wajib belajar 9 tahun, namun untuk perguruan tinggi belum ada
jalan keluarnya. Beberapa bantuan berupa beasiswa memang telah dirancang
oleh berbagai pihak, namun jumlahnya jauh dari cukup.
Diantara deretan pendidikan berbiaya mahal, pendidikan kedokteran
menempati deretan atas walau mungkin bukan yang teratas. Kalau dulu
sekolah di kedokteran di subsidi pemerintah melalui biaya pengadaan
bahan perkuliahan, maka sekarang biaya itu dipikul lebih banyak oleh
mahasiswa. Bersekolah di fakultas kedokteran sebagai calon dokter saat
ini memang tidak murah, sebuah perguruan tinggi swasta ternama di
Jakarta mematok biaya masuk untuk kandidat rangking pertama hasil tes
masuk sebesar Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) sedangkan
rangking kedua dan ketiga masing-masing sebesar Rp.90.000.000 (sembilan
puluh juta rupiah) dan Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah). Dapat
dibayangkan berapa biaya masuk untuk kandidat yang non rangking atau
rangking diatas 3. Biaya itu sudah tentu belum termasuk ongkos atau
biaya kuliah hingga menamatkan pendidikan selama 6 tahun. Perguruan
tinggi negeri juga memasang biaya yang tidak murah juga bagi sebagian
orang Indonesia, sehingga pintar saja memang belum cukup untuk
mewujudkan cita-cita menjadi dokter.
Menjadi
dokter memang impian sebagian orang, profesi “penyembuh tersebut
dipandang sebagai profesi yang mulia karena membantu langsung manusia
yang sedang mengalami masalah kesehatan, tanpa memandang latar belakang
budaya, agama dan kondisi ekonomi pasiennya”. Di masa lalu, bahkan
dokter lebih sering dibayar dengan hasil kebun pasien sebagai imbal jasa
dokter yang telah mengobati mereka dan keluarganya. Itu memang mungkin
terjadi bila dokter sejak pendidikannya sudah menyadari bahwa ilmu yang
diperoleh dengan cara yang murah harus membuat diri mereka menjadi
bersahaja. Rakyat mengharapkan darma bakti mereka karena rakyat telah
mensubsidi pendidikan para calon dokter. Kondisi tersebut tentu saja
sulit diterapkan di masa sekarang, karena kenyataanya telah berbeda
sekali.
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh calon dokter bahkan dokter
spesialis, tentu saja membuat paradigma mahasiswa menjadi bergeser.
Kalau dulu menolong masyarakat tidak mampu dipandang sebagai
“keharusan”, saat ini dipandang sebagai “pertolangan/sumbangan”, karena
sudah tidak ada lagi ikatan yang mengikat mahasiswa dengan
masyarakatnya. Semua sudah pupus karena uang. Kalau saja biaya
pendidikan dipandang sebagai investasi, tentulah perhitungannya akan
lebih rumit lagi. Sebagai investor yang mungkin berkedudukan sebagai
orang tua mahasiswa atau mertua atau bahkan lembaga investasi, tentulah
berharap investasinya cepat kembali. Pengembalian investasi tidak selalu
berupa uang, namun dapat juga berupa peningkatan status sosial dan lain
sebagainya. Strategi mencapai target itu dapat dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya memilih lahan spesialisasi yang cepat
mengembalikan investasi atau bekerja di bidang bisnis kesehatan yang
akan lebih cepat mengembalikan biaya yang dikeluarkan untuk
menyelesaikan pendidikan kedokterannya.
Sejatinya pendidikan kedokteran tidak menarik bila dilihat dan prospek
ekonomi, karena disamping biaya investasi besar, waktu pendidikannya pun
lama. Belum lagi kalau dilihat terbatasnya lapangan pekerjaan dengan
karir yang pasti. Bandingkan dengan pendidikan di bidang ekonomi,
manajemen atau teknik sekalipun, terkadang dipandang lebih mempunyai
masa depan cerah. Namun kenyataan ini tidak membendung minat orang tua
atau calon mahasiswa untuk memilih pendidikan kedokteran sebagai
fakultas favoritnya. Kondisi tersebut dapat dilihat dan makin
menjamurnya pendidikan kedokteran di Indonesia saat ini, banyak daerah
berlomba membuat fakultas kedokteran baru dengan segala keterbatasannya.
Hingga April 2006 lalu, jumlah fakultas kedokteran di Indonesia adalah
52 buah baik negeri maupun swasta, beberapa diantaranya belum meluluskan
dokter karena masih baru.
Kalaulah jumlah dokter dijadikan dasar pendirian fakultas kedokteran di
Indonesia, tentulah dapat dimengerti, namun kalau hanya itu saja maka
suatu saat hal itu akan jadi boomerang bagi Negara. Lulusan yang banyak,
mutu yang rendah dan biaya pendidikan yang mahal akan menjadi beban
Negara akibat sumber daya tersebut tidak dapat digunakan secara
maksimal. Di era perdagangan bebas nanti, dokter dan Negara lain akan
bebas masuk dan menjalankan praktiknya di Indonesia. Pasar tentu akan
memilih penjual jasa yang lebih bermutu dan bertarif lebih rasional.
Kalau saja dokter Indonesia tidak menyadari hal itu dari sekarang, tidak
dapat dibayangkan nasib calon dokter yang sekarang sedang sekolah
dengan biaya mahal dan berharap akan hidup lebih baik dengan gelar
dokternya.
Pendidikan yang lama ditambah pula dengan sistem pendidikan kedokteran
yang mengharuskan semua orang harus menjadi dokter dulu sebelum
menjalani pendidikan spesialisasi. Waktu tempuh untuk menjadi dokter
spesialis menjadi sangat panjang yaitu 6 tahun pendidikan kedokteran
dasar dan 3-5 tahun pendidikan spesialis. Padahal untuk profesi lain,
waktu 5-7 tahun sudah dapat meraih gelar magister atau master. Walaupun
demikian dokter memang profesi yang mempunyai magis tersendiri. Gagahnya
sosok dokter dalam balutan jas putihnya tetap memikat orang tua atau
anak muda yang masih mencari sosok masa depan yang ideal sebagai
kendaraan menjalani kehidupan dunia yang keras ini.
Terminal akhir dari perjalanan upaya manusia menata kehidupannya adalah
rajutan kehidupan masa depan. Salah satu alasan yang sering dikemukakan
oleh orang yang bermaksud memilih dokter sebagai profesi adalah
kehidupan yang tenang, senang, nyaman dan sosial ekonomi aman. Untuk
mencapai itu tentulah dikaitkan dengan pendapatan sebagai alat pemenuhan
kebutuhan hidup. Dengan kata lain menjadi dokter adalah tiket untuk
mendapatkan kesempatan memperoleh pendapatan yang layak, sehingga dapat
menjalankan hidup dengan baik.
Pendapatan dokter dikaitkan dengan tarif dokter yang dibebankan kepada
konsumennya. Menilik besaran tarif per pasien yang saat ini berlaku di
pasan jasa, kedokteran tarif dokter tidak selalu menggembirakan. Masih
banyak dokter yang dibayar lebih murah dari tukang cukur. Bayangkan kalau
tukang cukur tarifnya berkisar Rp.15.000,- hingga Rp.100.000,- maka
dokter praktik umum masih ada yang bertarif Rp. 4.000,- hingga
Rp.15.000,- dimana letak prospeknya? Bukankah lebih menarik membuka
barber shop ketimbang praktik dokter? Peralatan yang diperlukan lebih
sederhana, risiko lebih ringan dan prospek pasar lebih baik. Namun
perhitungan ekonomi itu tidak pas diterapkan pada pelayanan dokter.
Kepuasan dokter tidak dapat diukur dari materi semata, kepuasan pasien,
memenuhi harapan pasien dan kesempatan membantu kesusahan orang ternyata
jauh lebih kuat kekuatan magisnya dibandingkan kesempatan memperoleh
materi semata. Itulah dunia!
Sumber : BIDI – Mei 2006
http://www.idijakbar.com/
Friday, July 23, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
saya tidak setuju, sekarang semua fakultas kedoteran cuma 5 tahun sudah bisa (3.5 + 1.5 tahun)
Post a Comment
Berkomentar berarti berpendapat
Berpendapat berarti berapresiasi
Berapresiasi berarti menghargai