***
Terimakasih telah membaca bagian pertamanya :)
Bagi yang belum, seharusnya baca dari bagian pertama ya!
***
Melihat Kebaikan dalam Segala Peristiwa
Sebenarnya, melihat kebaikan dalam segala hal merupakan ungkapan yang
biasa. Dalam kehidupan kita sehari-hari, orang sering mengatakan, “Pasti
ada kebaikan (hikmah) di balik kejadian ini,” atau, “Ini merupakan
berkah dari Allah.”
Biasanya, banyak orang mengucapkan ungkapan-ungkapan tersebut tanpa
memahami arti sebenarnya atau semata-mata hanya mengikuti kebiasaan
masyarakat yang tidak ada maknanya. Kebanyakan mereka gagal memahami
arti yang sebenarnya dari ungkapan-ungkapan tersebut atau bagaimana
pemahaman itu dipraktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pada
dasarnya, kebanyakan manusia tidak sadar bahwa ungkapan-ungkapan
tersebut tidak sekadar untuk diucapkan, tetapi mengandung pengertian
yang penting dalam kejadian sehari-hari.
Kenyataannya, kemampuan melihat kebaikan dalam setiap kejadian, apa pun
kondisinya—baik yang menyenangkan maupun tidak—merupakan kualitas moral
yang penting, yang timbul dari keyakinan yang tulus akan Allah, dan
pendekatan tentang kehidupan yang disebabkan oleh keimanan. Pada
akhirnya, pemahaman akan kebenaran ini menjadi sangat penting dalam
menuntun seseorang tidak hanya untuk mencapai keberkahan hidup di dunia
dan akhirat, tetapi juga juga untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan
yang tak akan berakhir.
Tanda pemahaman yang benar akan arti iman adalah tidak adanya kekecewaan
akan apa pun yang terjadi dalam kehidupan ini. Sebaliknya, jika
seseorang gagal melihat kebaikan dalam setiap peristiwa yang terjadi dan
terperangkap dalam ketakutan, kekhawatiran, keputusasaan, kesedihan,
dan sentimentalisme, ini menunjukkan kurangnya kemurnian iman.
Kebingungan ini harus segera dienyahkan dan kesenangan yang berasal dari
keyakinan yang teguh harus diterima sebagai bagian hidup yang penting.
Orang yang beriman mengetahui bahwa peristiwa yang pada awalnya terlihat
tidak menyenangkan, termasuk hal-hal yang disebabkan oleh tindakannya
yang salah, pada akhirnya akan bermanfaat baginya. Jika ia menyebutnya
sebagai “kemalangan”, “kesialan”, atau “seandainya”, ini hanyalah untuk
menarik pelajaran dari sebuah pengalaman. Dengan kata lain, orang yang
beriman mengetahui bahwa ada kebaikan dalam apa pun yang terjadi. Ia
belajar dari kesalahannya dan mencari cara untuk memperbaikinya.
Bagaimanapun juga, jika ia jatuh dalam kesalahan yang sama, ia ingat
bahwa semuanya memiliki maksud tertentu dan mudah saja memutuskan untuk
lebih berhati-hati dalam kesempatan mendatang. Bahkan jika hal yang sama
terjadi puluhan kali lagi, seorang muslim harus ingat bahwa pada
akhirnya peristiwa tersebut adalah untuk kebaikan dan menjadi hak Allah
yang kekal. Kebenaran ini juga dinyatakan secara panjang lebar oleh
Rasulullah,
“Aku mengagumi seorang mukmin karena selalu ada kebaikan dalam setiap
urusannya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur (kepada Allah)
sehingga di dalamnya ada kebaikan. Jika ditimpa musibah, ia berserah
diri (dan menjalankannya dengan sabar) bahwa di dalamnya ada kebaikan
pula.” (HR Muslim)
Hanya dalam kesadaran bahwa Allah menciptakan segalanya untuk tujuan
yang baik sajalah hati seseorang akan menemukan kedamaian. Adalah sebuah
keberkahan yang besar bagi orang-orang beriman bila ia memiliki
pemahaman akan kenyataan ini. Seseorang yang jauh dari Islam akan
menderita dalam kesengsaraan yang berkelanjutan. Ia terus-menerus hidup
dalam ketakutan dan kekhawatiran. Di sisi lain, orang beriman menyadari
dan menghargai kenyataan bahwa ada tujuan-tujuan Ilahiah di balik
ciptaan dan kehendak Allah.
Karena itu, adalah memalukan bagi orang beriman bila ia ragu-ragu dan
ketakutan terus-menerus karena selalu mengharapkan kebaikan dan
kejahatan. Ketidaktahuan terhadap kebenaran yang jelas dan sederhana,
kekurangtelitian, dan kemalasan hanya akan mengakibatkan kesengsaraan di
dunia dan di akhirat. Kita harus ingat bahwa takdir yang ditentukan
Allah adalah benar-benar sempurna. Jika seseorang menyadari adanya
kebaikan dalam setiap hal, dia hanya akan menemukan karunia dan maksud
Ilahiah yang tersembunyi di dalam semua kejadian rumit yang saling
berhubungan. Walau ia mungkin memiliki banyak hal yang mesti
diperhatikannya setiap hari, seseorang yang memiliki iman yang kuat—yang
dituntun oleh kearifan dan hati nurani—tidak akan membiarkan dirinya
dihasut oleh tipu muslihat setan. Tak peduli bagaimanapun, kapan pun,
atau di mana pun peristiwa itu terjadi, ia tidak akan pernah lupa bahwa
pasti ada kebaikan di baliknya. Walaupun ia mungkin tidak segera
menemukan kebaikan tersebut, apa yang benar-benar penting baginya adalah
agar ia menyadari adanya tujuan akhir dari Allah.
Berkaitan dengan sifat terburu-buru manusia, mereka kadang-kadang tidak
cukup sabar untuk melihat kebaikan yang ada di dalam peristiwa yang
menimpa mereka. Sebaliknya, mereka menjadi lebih agresif dan nekat dalam
mengejar sesuatu walaupun hal tersebut sangat bertentangan dengan
kepentingan yang lebih baik. Di dalam Al-Qur`an, hal ini disebutkan,
وَيَدۡعُ ٱلۡإِنسَـٰنُ بِٱلشَّرِّ دُعَآءَهُ ۥ بِٱلۡخَيۡرِۖ وَكَانَ ٱلۡإِنسَـٰنُ عَجُولاً۬
“Dan manusia mendo’a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo’a untuk
kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (al-Israa`: 11)
Meski demikian, seorang hamba harus berusaha melihat kebaikan dan maksud
Ilahiah dalam setiap kejadian yang disodorkan Allah di depan mereka,
bukannya memaksa untuk diperbudak oleh apa yang menurutnya menyenangkan
dan tidak sabar untuk mendapatkan hal itu.
Walau seseorang berusaha untuk mendapatkan status finansial yang lebih
baik, perubahan itu mungkin tidak pernah terwujud. Tidaklah benar jika
seseorang menganggap suatu kondisi itu merugikan. Tentu saja seseorang
boleh berdo’a kepada Allah untuk mendapatkan kekayaan jika kekayaan itu
digunakan di jalan Allah. Bagaimanapun juga, ia harus mengetahui bahwa
jika keinginannya itu tidak dikabulkan Allah, itu disebabkan alasan
tertentu. Mungkin saja bertambahnya kekayaan sebelum matangnya kualitas
spiritual seseorang dapat mengubahnya menjadi orang yang gampang
diperdaya oleh setan. Banyak alasan Ilahiah lainnya—di antaranya tidak
langsung disadari atau hanya akan terlihat di akhirat—dapat mendasari
terjadinya sebuah peristiwa. Seorang usahawan, misalnya, bisa saja
tertinggal sebuah pertemuan yang akan menjadi pijakan penting dalam
kariernya. Akan tetapi, jika saja pergi ke pertemuan itu, ia bisa
tertimpa kecelakaan lalu lintas, atau jika pertemuannya diadakan di kota
lain, pesawat yang ditumpanginya bisa saja jatuh.
Tak ada seorang pun yang kebal terhadap segala peristiwa. Biasakanlah
untuk melihat bahwa pada akhirnya ada suatu kebaikan dalam sebuah
peristiwa yang pada awalnya terlihat merugikan. Meski demikian,
seseorang perlu ingat bahwa ia tidak akan selalu dapat mengetahui maksud
sebuah peristiwa adalah sesuatu yang merugikan. Ini karena, sebagaimana
telah kami sebutkan sebelumnya, kita tidak selalu beruntung dapat
melihat sisi positif yang muncul. Mungkin juga Allah hanya akan
menunjukkan maksud keilahian-Nya di akhirat nanti. Karena alasan itulah,
yang harus dilakukan oleh orang yang ingin menyerahkannya pada takdir
Allah dan memberikan kepercayaannya kepada Allah adalah menerima setiap
kejadian itu—apa pun namanya—dengan keinginan untuk mencari tahu bahwa
pastilah ada kebaikan di dalamnya dan kemudian menerimanya dengan senang
hati.
Harus disebutkan juga bahwa melihat kebaikan dalam segala hal bukan
berarti mengabaikan kenyataan dari peristiwa-peristiwa tersebut dan
berpura-pura bahwa hal itu tidak pernah terjadi, atau mungkin menjadi
sangat idealis. Sebaliknya, orang beriman bertanggung jawab untuk
mengambil tidakan yang tepat dan mencoba semua cara yang dianggap perlu
untuk memecahkan masalah. Kepasrahan orang yang beriman tidak boleh
dicampuradukkan dengan cara orang lain, yang karena pemahaman yang tidak
sempurna tentang hal ini, mereka tetap saja tidak acuh terhadap apa pun
yang terjadi di sekitar mereka dan optimis tetapi tidak realistis.
Mereka tidak bisa membuat keputusan yang rasional ataupun menjalankan
keputusan tersebut. Ini dikarenakan yang ada pada mereka adalah
optimistis yang melenakan dan kekanak-kanakan, bukan mencari pemecahan
masalah. Sebagai contoh, ketika seseorang didiagnosis menderita penyakit
yang serius, keadaannya saat itu mungkin paling parah sampai pada titik
fatal yang diabaikannya selama masa pengobatan. Contoh lainnya, jika
seseorang tidak menyadari pentingnya mengamankan harta bendanya, walau
ia pernah mengalami pencurian, besar kemungkinan akan menjadi korban
lagi dari kejadian serupa itu.
Pastilah cara-cara tersebut jauh dari sikap menaruh kepercayaan kepada
Allah dan dari “melihat kebaikan dalam segala hal”. Pada hakikatnya,
sikap tersebut berarti ceroboh. Kebalikannya, orang yang beriman harus
berusaha mengendalikan situasi sepenuhnya. Pada dasarnya, sikap yang
menuntun diri mereka ini adalah suatu bentuk “penghambaan”, karena
ketika mereka terlibat dalam situasi tersebut, pikiran mereka dikuasai
oleh ingatan akan kenyataan bahwa Allahlah yang membuat peristiwa itu
terjadi.
Di dalam Al-Qur`an, Allah menghubungkan kisah para nabi dan orang
beriman sebagai contoh bagi mereka yang sadar akan hal ini. Inilah yang
harus diteladani oleh seorang mukmin. Sebagai contoh, sikap yang
merupakan respons Nabi Huud terhadap kaumnya menunjukkan penyerahan
total dan rasa percayanya yang kokoh kepada Allah, walaupun ia
mendapatkan perlakuan yang buruk.
قَالُواْ يَـٰهُودُ مَا جِئۡتَنَا بِبَيِّنَةٍ۬ وَمَا نَحۡنُ بِتَارِكِىٓ
ءَالِهَتِنَا عَن قَوۡلِكَ وَمَا نَحۡنُ لَكَ بِمُؤۡمِنِينَ (٥٣) إِن
نَّقُولُ إِلَّا ٱعۡتَرَٮٰكَ بَعۡضُ ءَالِهَتِنَا بِسُوٓءٍ۬ۗ قَالَ
إِنِّىٓ أُشۡہِدُ ٱللَّهَ وَٱشۡہَدُوٓاْ أَنِّى بَرِىٓءٌ۬ مِّمَّا
تُشۡرِكُونَ (٥٤) مِن دُونِهِۦۖ فَكِيدُونِى جَمِيعً۬ا ثُمَّ لَا
تُنظِرُونِ (٥٥) إِنِّى تَوَكَّلۡتُ عَلَى ٱللَّهِ رَبِّى وَرَبِّكُمۚ
مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلَّا هُوَ ءَاخِذُۢ بِنَاصِيَتِہَآۚ إِنَّ رَبِّى
عَلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬ (٥٦) فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَقَدۡ
أَبۡلَغۡتُكُم مَّآ أُرۡسِلۡتُ بِهِۦۤ إِلَيۡكُمۡۚ وَيَسۡتَخۡلِفُ رَبِّى
قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ وَلَا تَضُرُّونَهُ ۥ شَيۡـًٔاۚ إِنَّ رَبِّى عَلَىٰ
كُلِّ شَىۡءٍ حَفِيظٌ۬ (٥٧
“Kaum ‘Aad berkata, ‘Wahai Huud, kamu tidak mendatangkan kepada kami
suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan
sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak
akan memercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian
sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.’ Huud
menjawab, ‘Sesungguhnya, aku menjadikan Allah sebagai saksiku dan
saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu
dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
Sesungguhnya, aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada
suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya.
Sesungguhnya, Tuhanku di atas jalan yang lurus.’ Jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku
diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti
(kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat
mudharat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya, Tuhanku adalah Maha
Pemelihara segala sesuatu.” (Huud: 53-57)
***
Secara umum, manusia cenderung memisahkan peristiwa yang terjadi dalam
istilah “baik” dan “buruk”. Pemisahan tersebut sering bergantung pada
kebiasaan atau tendensi peristiwa itu sendiri. Reaksi mereka terhadap
peristiwa tersebut berubah-ubah tergantung pada kepelikan dan bentuk
kejadian tersebut; bahkan apa yang akhirnya akan mereka rasakan dan
alami biasanya ditentukan oleh kebiasaan sosial masyarakat.
Hampir semua orang memiliki sisa-sisa mimpi masa kecil, bahkan dalam
hidup mereka selanjutnya, walaupun rencana-rencana ini tidak selalu
terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan atau direncanakan. Kita selalu
cenderung kepada kejadian-kejadian yang tidak diharapkan dalam hidup.
Peristiwa tersebut dapat sekejap saja melemparkan hidup kita ke dalam
kekacauan. Ketika seseorang berniat untuk menjalankan hidupnya dengan
normal, ia mungkin berhadapan dengan rangkaian perubahan yang pada
awalnya terlihat negatif. Seseorang yang sehat bisa dengan tiba-tiba
terserang penyakit yang fatal atau kehilangan kemampuan fisik karena
kecelakaan. Sekali lagi, seseorang yang kaya bisa saja kehilangan
seluruh kekayaannya dengan tiba-tiba.
Hidup seperti menaiki roller-coaster. Reaksi orang berbeda-beda ketika
menaikinya. Jika kejadian yang muncul menyenangkan, reaksi mereka
baik-baik saja. Akan tetapi, ketika dihadapkan pada hal-hal yang tidak
diharapkan, mereka cenderung kecewa, bahkan marah. Kemarahan mereka itu
bisa memuncak, bergantung pada sejauh mana mereka berhubungan dengan
peristiwa tersebut dan pencapaian mereka dalam masalah ini.
Kecenderungan ini biasa terjadi dalam masyarakat yang tenggelam dalam
kebodohan.
Ada juga di antara mereka yang saat kecewa berkata, “Pasti ada kebaikan
di dalamnya.” Bagaimanapun juga, kalimat yang diucapkan tanpa memahami
arti sebenarnya hanya semata-mata kebiasaan masyarakat saja.
Masih ada sebagian orang yang memiliki keinginan untuk memikirkan maksud
Ilahiah dalam setiap peristiwa, apakah yang mungkin terdapat dalam
kejadian-kejadian yang sepele. Akan tetapi, ketika mereka dihadapkan
pada peristiwa yang lebih besar, yang sangat mengganggu, tiba-tiba
mereka melupakan niat tersebut. Sebagai contoh, seseorang mungkin tidak
akan tertekan saat mesin mobilnya rusak tepat ketika ia harus berangkat
ke kantor dan ia berusaha berprasangka baik terhadap kejadian tersebut.
Akan tetapi, jika keterlambatannya itu membuat bosnya marah atau menjadi
alasan hilangnya pekerjaan, ia lalu mencari-cari alasan untuk mengeluh.
Dia mungkin akan bersikap sama jika kehilangan perhiasan atau jam
mahal. Contoh-contoh ini menunjukkan kepada kita bahwa ada beberapa
kejadian kecil yang menyebabkan orang bereaksi dengan wajar atau mereka
mau berbaik sangka bahwa hal tersebut mengandung kebaikan. Akan tetapi,
contoh-contoh lainnya yang tidak biasa dapat membuatnya mencari
pembenaran atas keangkuhan dan kemarahan mereka.
Di sisi lain, sebagian orang hanya menghibur diri dengan berpikir
demikian tanpa memiliki pegangan makna yang benar terhadap “melihat
kebaikan dalam segala hal”. Dengan sikap demikian, mereka percaya bahwa
hal tersebut dapat menjadi cara untuk menciptakan kenyamanan bagi mereka
yang tengah tertimpa masalah. Misalnya yang terjadi pada anggota
keluarga yang bisnisnya tengah berantakan atau seorang teman yang gagal
dalam ujian. Bagaimanapun juga, jika kepentingan merekalah yang
dipertaruhkan dan mereka terlihat tak sedikit pun memikirkan kebaikan
apa yang ada di balik peristiwa tersebut, mereka telah berlaku bodoh.
Kegagalan untuk melihat kebaikan dalam peristiwa yang dialami seseorang
muncul dari hilangnya keimanan seseorang. Kegagalannya untuk memahami
bahwa Allahlah yang menakdirkan setiap kejadian dalam kehidupan
seseorang, bahwa hidup di dunia ini tidak lain hanyalah ujian, inilah
yang menghalangi dirinya untuk menyadari kebaikan apa pun dalam setiap
peristiwa yang terjadi padanya.
***
Baca bagian ketiga ya! :)
***
Referensi:
Harun Yahya-Melihat Kebaikan di Segala Hal
Wednesday, July 28, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment
Berkomentar berarti berpendapat
Berpendapat berarti berapresiasi
Berapresiasi berarti menghargai