Info mengenai Al-Azhar University ini saya dapatkan dari http://azharku.wordpress.com/
Al-Azhar University
SEKILAS SEJARAH Al-AZHAR
Perjalanan
panjang Al-Azhar yang kini jelang usia 1000 tahun lebih memang menarik
disimak. Sejak dibangun pertama kali pada 29 jumada Al Ula 359 H. (970
M.) oleh panglima Jauhar Ash shiqillilalu dibuka resmi dan shalat jum’at
bersama pada 7 Ramadhan 361 H. , lembaga besar yang mulanya sebuah
masjid ini bagai tak pernah lelah membidani kelahiran para ulama’ dan
cendekiawan muslim. “Masjid sekaligus institusi pendidikan tertua,”
itulah penghargaan sejarah buatnya.
Kehadiran
Al-Azhar tak bias dipisahkan dari peran dinasti Fathimi yang kala itu
dipimpin oleh Khalifah Mu’iz li dinillah ma’ad bin Al-Mansur (319-365
H./931-975 M.), Khalifah ke empat dara dinasti fathimiyyah, jauh
sebelumnya ketika islam mulai menyebar ke mesir (641 M.) dimasa khalifah
umar bin khattab, pendidikan islam formal sebenarnya telah berjalan
sejak berdirinya masjid pertama di Afrika.
Sudah
menjadi suatu kaedah tak tertulis bahwa peradaban islam di suatu daerah
selalu dikaitkan dengan peran masjid jami’ (masjid negara) dikawasan
tersebut. Hal ini mungkin diilhami dari kerja nyata rasulallah SAW.
Ketika hijrah kemadinah. Tugas pertama yang beliau lakukan adalah
membangun masjid nabawi. Ini menandakan peran masjid yang tidak hanya
terbatas pada kegiatan rituan semata. Tapi lebih dari itu, masjid adalah
sentral pemerintahan islam, sarana pendidikan, mahkamah, tempat
mengeluarkan fatwa, dan sebagainya.
Hal
inilah yang kemudian dilakukan oleh ‘Amru bin ‘Ash ketika menguasai
mesir. Atas perintah Khalifah Umar, panglima ‘amru mendirikan masjid
pertama di Afrika yang kemudian dinamakan masjid ‘Amru bin Ash di kota
Fushthat, sekaligus menjadi pusat pemerintahan islam mesir ketika itu,
selanjutnya dimasa dinasti Abbasiyah ibukota pemeintahan ini berpindah
lagi ke kota yang disebut Al-Qotho’i dan ditandai dengan pembangunan
masjid bernama Ahmad bin Tholun.
Masa
demi masa berlalu, pemeriuntahan pun silih berganti. Tiba era Daulah
Fathimiyyah (358 H./969 M.) ibukota mesir berpindah ke Daerah baru atas
perintah Khalifah Al-Mu’iz li Dinillah yang menugasi panglimanya, Jauhar
Ash shiqilli, untuk membangun pusat pemerintahan. Setelah melalui tahap
pembangunan daerah ini dinamai kota Al Qohirah.
Sebagaimana
sejarah islam masa lalu, setiap berganti Daulah selalu ditandai dengan
pembangunan masjid di pusat ibukota. Sehingga kurang setahun kemudian,
beriringan dengan pembangunan kota Al-Qohirah didirikan pula sebuah
masjid bernama Jami’ Al Qohirah (meniru nama ibu kota). Seluruhnya masih
dalam penanganan panlima Jauhar Asg Shiqilli.
Pada
masa khalifah Al Aziz billah, sekeliling Jami’ Al Qohirah dibangun
beberapa istana yang disebut Al Qushur Az Zahirah. Istana-istana ini
sebagian besar berada disebelah timur (kini sebelah barat masjid
husein), sedangkan beberapa sisanya yang kecil disebelah barat (dekat
masjid Al Azhar sekarang), kedua istana dipisahkan oleh sebuah taman nan
indah. Keseluruhan daerah ini dikenal dengan sebutan “Madinatul
Fatimiyyin Al-Mulukiyyah”. Kondisi sekitar yang begitu indah bercahaya
ini mendorong orang menyebut Jami’ Al Qohirah dengan sebutan baru, Jami’
Al Azhar (Berasal dari kata Zahra’ artinya yang bersinar, bercahaya,
berkilauan).
Para
khalifah jauh-jauh hari menyadari bahwa kelanjutan Al-Azhar tidak bias
lepas dari segi pendanaan. Oleh karena itu setiap khalifah memberikan
harta wakaf baik dari kantong pribadi maupun kas negara. Penggagas
pertama wakaf bagi bagi Al-Azhar dipelopori oleh khalifah Al Hakim bi
amrillah, lalu di ikuti oleh para khalifah berikutnya serta orang orang
kaya setempat dan seluruh dunia islam sampai saat ini. Harta wakaf
tersebut kabarnya pernah mencapcai sepertiga dari kekayaan mesir. Dari
harta wakaf inilah roda perjalanan Al Azhar bisa terus berputar,
termasuk memberikan beasiswa, asrama , dan pengiriman utusan Al Azhar ke
berbagai penjuru Dunia.
Dari masjid ‘Amru bin Ash dan Ahmad bin Tholun, perlahan poros pendidikan berpindah ke Al-Azhar.
FASE PERALIHAN
Sudah
menjadi semacam perjanjian tak tertulis, pada setiap khalifah Daulah
Fathimiyyah selalu diadakan restorasi bangunan Jami’ Al Azhar. Hingga
ketika gempa hebat sempat merusak Al Azhar pada tahun 1303 M. sultan An
Nasir yang memerintah saat itu segera merehab kembali bangunan yang
rusak.
Ciri
spesifik pemugaran bangunan mulai tampak pada masa sultan Qonsouh (1509
M.) yang merestorasi satu menara Al Azhar nan indah dengan dua puncak
(Manaratul Azhar Dzatu Ar-ra’sain).
Penyempurnaan
Jami’ Al Azhar kembali dilanjutkan pada periode Daulah Utsmani, dengan
kegiatan restorasi yang tak jauh berbeda seperti sebelumnya. Klimaksnya
dicapai pada masa Amir Abdurrahman Katakhda (Wafat 1776 M.) dengan
menambahkan dua buah menara, mengganti mihrab dan mimbar baru, membuka
local belajar bagi yatim piatu, membangun ruang bagi pemondokan
mahasiswa dan pelajar asing, membuat pendopo ruang tamu, teras tak
beratap dalam masjid, dan tangki air tempet berwudlu, singkat kata
hampir seluruh bangunan tua yang masih tersisa di masjid Al Azhar kini
adalah hasil karya Amir tersebut.
Seiring
gelombang pasang surut sejarah, berbagai bentuk pemerintahan silih
berganti memainkan peranannya di lembaga tertua ini, selain sebagai
masjid, proses penyebaran faham Syi’ah turut mewarnai aktivitas awal
yang dilakukan Dinasti Fathimi, khususnya di penghujung masa khalifah Al
Muiz li Dinillah ketika Qodhil Qudhoh Abu Hasan Ali bin Nu’man
Al-Qairiwani mengajarkan fiqih Mazhab Syi’ah, dari kitab Mukhtasyar yang
merupakan pelajaran agama pertama di Masjid Al Azhar pada bulan Shafar
365 H. (Oktober 975 M.).
Sesudah
itu proses belajar terus berlanjut dengan penekanan utama pada
ilmu-ilmu agama dan bahasa, walaupun tanpa mengurangi perhatian terhadap
ilmu manthiq, filsafat kedokteran danilmu falak sebagai tambahan yang
diikutsertakan.
Namun
semenjak Shalahuddin Al ayyubi memegang pemerintahan mesir (tahun 567
H./1171 M.), Al Azhar sempat diistirahatkan sementara waktu sambil
dibentuk lembaga pendidikan Alternatif guna mengikis pengaruh Syi’ah.
Disinilah mulai dimasukkan perubahan orientasi besar-besaran dari Mazhab
Syi’ah ke Mazhab Sunniyang berlaku hingga sekarang meski tak dipungkiri
paham syi’a dari sudut akademis masih tetap dipelajari.
FASE REFORMASI
Pembaharuan
Administrasi pertama Al Azhar dimulai pada masa pemerintahan Sulthan Ad
Dhahir Barquq (784 H./1382 M.) dimana ia mengangkat amir Bahadir At
Thawasyi sebagai direktur pertama Al Azhar tahun 784 H. / 1382 M. ini
terjadi dalam masa kekuasaan mamalik di Mesir. Upaya ini merupakan usaha
awal untuk menjadikan Al Azhar sebagai yayasan keagamaan yang mengikuti
pemerintah.
System
ini terus berjalan hingga pemerintahan Utsmani menguasai mesir
dipenghujung abad 11 H. ditandai dengan pengankatan “Syaikh Al ‘Umumy”
yang digelar dengna Syaikh Al Azhar sebegai figure sentral yang mengatur
berbagai keperluan pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa hokum,
termasuk tempat mengadukan segala persoalan. Pada fase ini terpilih
Syaikh Muhammad Al Khurasyi (1010 H.-1101 H.) Sebagai Syaikh Al Azhar
pertama. Secara keseluruhan ada 40 Syaikh yang telah memimpin Al Azhar
selam 43 periode, hingga kini dipegang oleh mantan mufti mesir Syaikh
Muhammad Thanthawi.
Masa
keemasan Al Azhar terjadi pada abad 9 H. (15 M.) banyak ilmuan dan
ulama’ islam bermunculan di Al Azhar saat itu, seperti ibnu khaldun, Al
farisi, As-Syuyuthi, Al ‘Aini, Al Khawi, Abdul Lathif Al Baghdadi, ibnu
Khaliqon, Al Maqrizi dan lainnya yang banyak mewariskan ensiklopedi
Arab.
Iklim
kemunduran kembali hadirketika dinasti Utsmani berkuasa di Mesir
(1517-1798 M.) Al-Azhar mulai kurang berfungsi disertai kepulangan para
ulama’ dan mahasiswa yang berangsur angsur menninggalkan kairo. Meski
begitu tambahan berbagai bangunan tetap diupayakan atas prakarsa amir
amir Utsmani dan kaum muslimin sedunia.
Kepemimpinan
Muhammad ali Pasha di Mesir pada tahap berikutnya telah membentuk
sistem pendidikan yang paralel tapi terpisah, yaitu pendidikan
tradisional dan pendidikan modern sekuler, ia juga berusaha menciutkan
peranan Al Azhar sebagai lembaga yang berpengaruh sepanjang sejarah,
antara lain dengan menguasai badan Wakaf Al Azhar yang merupakan urat
nadinya. Seterusnya pada masa pemerintahan Khedive Isma’il Pasha
(1863-1879 M.) mulai diusahakan reorganisasi pendidikan, dan dari sini
pendidikan tradisional mulai bersaing dengan pendidikan modern sekuler.
Serangan terhadap pendidikan tradisional sering tampak dari usaha yang
menginginkan perbaikan Al Azhar sebagai pusat pendidikan islam
terpenting.
Sejak
awal abad 19, sistem pendidikan barat mulai diterapkan di sekolah
sekolah mesir. Sementara Al Azhar masih saja menggunakan sistem
tradisional. Dari sini muncul suara pembaharuan.
Diantara
pembaharuan yang menonjol adalah dicantumkannya system ujian untuk
mendapatkan ijazah Al ‘Alamiyah (kesarjanaan) Al Azhar pada februeri
1872 M., juga pada tahun 1896 M., buat pertama kali dibentuk Idarah Al
Azhar (Dewan Administrasi). Usaha pertama dari dewan ini adalah
mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di Al Azhar menjadi dua
preode: pendidikan Dasar 8 tahun serta menengah dan tinggi 12 tahun.
Kurikulum Al Azhaar ikut diklasifikasikan dalam dua kelas: Al ‘Ulum Al
Manqulah (Bidang study Agama) Al ‘Ulum Al Manqulah (Bidang study Umum).
Menyebut
pembaharuan di Al Azhar, kita perlu mengingat Muhammad Abduh (1849-1905
M.) mengusulkan perbaikan system pendidikan Al Azhar dengan memasukkan
ilmu-ilmu modern kedalam kurukulumnya. Gagasan tersebut mulanya kurang
disepakati Syekh Muhammad Al Ambabi. Baru ketika Syekh An Nawawi
memimpin Al Azhar, ide Muhammad Abduh bisa berpengaruh. Berangsur angsur
mulai diadakan pengaturan masa libur dan masa belajar. Uraian pelajaran
yang bertele- tele yang dikenal dengan syarah al hawasyi
disederhanakan. Sementara itu kurikulum seperti fisika, ilmu pasti,
filsafat, sosiologi dan sejarah, telah menerobas A Azhar. Berbarengan
ini puladirenofasi ruang Al Azhar sebagai pemondokan bagi guru dan
mahasiswa.
AL AZHAR KINI
Pada
abad XXI ini, Al Azhar mulai memandang perlunya mempelajari system
penelitihan yang dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim
Alumni terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amirika. Tujuan mengirim
ini adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah ditingkat internasional
sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan pemahaman islam yang benar.
Cukup banyak duta Al Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari
Universitas luar tersebut, diantaranya ialah: Syekh DR. Abdul Halim
Mahmud, Syekh DR. Muhammad Al Bahy, Dan banyak lagi.
Sebelumnya,
pada tahun 1930 M, keluar undang undang no 49 yang mengatur Al Azhar
mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan membagi
Universitas Al Azhar menjadi tiga fakultas yaitu: Syari’ah, Usuluddin,
Bahasa Arab.
Fakultras
induk Syari’ah wal qonun di Cairo merupakan bangunan pertama yang
berdiri pada tahun 1930 M. semula berama Syari’ah, lalu pada tahun 1961
dirubah menjadi nama seperti sekarang. Fakultas indul Usuluddin dan
bahasa Arab di Kairo juga didirikan pada tahun 1930 M. penjurusan diatur
kembali pada tahun 1961 M. fakultas Dakwah islamiyyah didirikan dengan
keputusan presiden (keppres) no 380 tahun 1978 yang dikeluarkan pada 16
Ramadlon 1398 H. (20 Agustus 1978). Fakultas Dirasah islamiyah wal
Arabiyah memulai kuliahnya pada tahun 1965 M. sebagai salah satu jurusan
dari Fakultas Syari’ah. Pada tahun 1972 keluar keppres no 7 yang
menjadikan fakultas ini sebagai lembaga tersendiri dengan nama Ma’had
Dirasat Al Islamiyah Wal Arabiyah (Institut of Islamic and Arabic
studies) namun pada tahun 1976 M. keluar keppres no 299 yang kembali
menjadikan institut ini sebagai fakultas tersendiri, dengan jurusan:
usuluddin syari’ah islamiyah bahasa dan sastra Arab.
Angin
pembaharuan kembali berhembus di Al Azhar pada 5 mei 1961 M. dimasa
kepemimpinan Syekh Mahmoud Syalthout. Peran Syaikh Al Azhar diciutkan
menjadi jabatan simbolissehingga kurang mempunyai pengaruh langsung
terhadap lembaga pendidikan yang ada dibawah pimpinannya. Undang-undang
pembaharuan ini disebut undang-undang revosusi mesir nomor 103 tahun
1961 M. undang-undang ini memberikan kemungkinan besar perubahan
structural pendidika di Al Azhar, sehingga diantarany membolehkan
lulusan SD atau SMP Al Azhar untuk melanjutkan studinya ke SMP atau SMA
milik Departemen pendidikan, atau sebaliknya. Dalam ruang lingkup
pendidikan tinggi, disamping fakultas-fakultas keislaman, ditambahkan
pula berbagai fakultas baru seperti: Tarbiyah, Kedokteran,
Perdagangan/Ekonomi, Sains, Pertanian, Teknik, Farmasi, dan sebagainya.
Juga dibangun fakultas khusus putrid (Kulliyatul Banat) dengan berbagai
jurusan.
Al
Azhar mempunyai 3 rumah sakit Universitas: Husein Hospital, Zahra’
Hospital, dan Bab el Sya’riah Hospital. Sementara itu, Nasser Islamic
Mission City (Madinat Nasser Lil Bu’ust Al Islamiyah) untuk orang asing
dibuka pada bulan September 1959 M.
Universitas
(Jami’ah) Al Azhar hanyalah salah satu lembaga resmi yang dimiliki Al
Azhar masih ada lembaga lain yang sempat terbentuk, seperti:
- Lembaga pendidikan Dasar dan Menengah (Al Ma’ahid A Azhariyah).
- Biro Kebudayaan dan missi Islam (Idarah Ats-tsaqofah wal Bu’uts Al Islamiyah).
- Majlis tinggi Al Azhar (Al Majlis Al A’la Lil Azhar)
- Lembaga Riset Islam (Majma’ Al Buhuts Al Islamiyah).
- Hai’ah Ighatsah Al Islamiyah.
Sejak
mula berdirinya, studi Al Azhar selalu terbuka untuk semua pelajar dari
seluruh dunia, hingga kini Universitas Al Azhar memiliki lebih dari 50
Fakultas yang tersebar diseluruh pelosok mesir dengan jumlah Mahasiswa/i
melebihi angka 200 ribu orang. Itulah potret Al Azhar yang tetap tegar
dalam kurun usia senja.
KEHIDUPAN DI MESIR
Mesir
adalah sebuah negara berkembang yang tak jauh berbeda dengan negara ke
tiga lainnya. Kultur serta corak hidup penduduknya terkesan kasar, keras
tapi mudah sekali lembut, dan kadang kurang teratur. Walau begitu
adanya, tetap saja banyak warga asing yang betah berlama-lama menikmati
negri ini.
Tempat tinggal
A. Asrama
Bagi
Mahasiswa/i yang memperoleh beasiswa Al Azhar atau Majlis A’la, ia
berhak tinggal; di Asrama madinatul bu’uts al islamiyah (Al Azhar) dan
asrama Dirmalak (Majlis A’la) secara gratis. Hanya bagi penghuni bu’uts
akan dikenakan potongan beasiswa guna Administrasi bulanan, termasuk
makan dan listrik, pihak bu’uts juga menyediakan fasilitas yang
terbilang lumayan berupa : kamar, dapur, ruang olahraga/fitness, Masjid
dan lain sebagainya. Sedang Asrama Dirmalak hanya diperuntukkan bagi
kaum Hawa saja, letaknya tidak begitu jauh dari bu’uts. Dirmalak juga
punya peraturan khusus, disini tidak disediakan makan alias masak
sendiri, maka dari itu biaya yang dipungut tidak begitu besar.
B. Non Asrama
Mahasiswa
yang terjun bebas alias non beasiswa terpaksa harus menyewa rumah/flat
dengan harga rata-rata LE 350-600 perbulan. Satu flat umumnya berisi dua
atau tiga kamar tidur, ruang tamu, dapur, balkon, kamar mandi, perkakas
rumah serta fasilitas musim panas, dan musim dingin seperti pemanas air
(sakhanah), kulakas dan kompor gas. Pada flat tertentu kadang
dilengkapi dengan sarana telfon lokal, TV serta AC, tentu dengan harga
sewa yang lebih dari standar biasa. Menyikapi hal itu, maka satu flat
biasanya ditempati 3-6 orang, sehingga bebanpun terasa ringan.
Konsumsi
Masak
sendiri adalah pilihan Mahasiswa, karena makanan mesir kurang cocok
dengan lidah melayu, apalagi bagi mahasiswa baru. Beras di Mesir cukup
banyak tersedia juga lauk yang bias disulap layaknya khas cita rasa Asia
Tenggara, untuk hal ini biaya per individu LE 90 per bulan sudfah
memadai, di daerah nasr city juga ada warung Indonesia, Malaysia, dan
Thailand.
Transportasi.
Menurut
kebiasaan mahasiswa asing tinggal agak jauh dengan kampus, karna
sekitar kampus Al Azhar di kawasan Husein cukup ramai oleh lalulintas
dan pasar yang kurang mendukung suasana belajar. Khusus transportasi
kuliah menghabiskan ongkos sekitar LE 50 perbulan.
Hal-hal tak terduga
Pada
bagian ini, termasuk iuran organisasi kedaerahan, induk, regional,
langganan bulletin mahasiswa, dana kesehatan dan lainnyayang memerlukan
sedikit penyisihan uan kira-kira LE 70. simpulnya standar biaya hidup
sederhana perbulan bagi setiap mahasiswa asing putra maupun putri
berkisar antara US$70-90 pebulan yang digunakan untuk sewa rumah
kolektif, telfon, makan, listrik, diktat kuliah dan hal hal tak terduga
lainnya.
Situasi keamanan.
Suasana
dan kondisi keamanan Mesir atau kota Kairo yang padat penduduknya masih
memungkinkan untuk belajar tenang. Adapun gangguan keamanan yang
terjadi sebenarnya tidak tertuju kepada mahasiswa asing. Para penduduk
kota menghargai pelajar asing. Kegiatan belajar bersama diluar kuliah
atau belajar bimbingan baik oleh rekan senior atau beberapa guru mesir
hingga akhirnya pulang agak larut malam tidaklah menjadi suatu
kekhawatiran. Memang agak berbeda dengan suasana kota-kota besar
umumnya. Gangguan gerombolan pemuda nakal jarang ditemui. Namun demikian
sikap kewaspadaan dan hati-hati tetap diperlukan, misalkan ketika
menaiki bus padat saat pergi kuliah atau suatu urusan. Tawuran antar
pelajar bisa dikatakan tidak ada. Sengketa yang mengakibatkan
perkelahian adalah hal yang tabu di Mesir. Perang mulutpun bias any
berakhir dengan solusi damai, tanpa dendam.
Kesempatan kerja
Seyogjanya
bagi pelajar asing tidak memasang niat “Belajar sambil bekerja” karena
kan mengurangi kesempatan meraih ilmu yang sebanyak-banyaknya. Apalagi
kesempatan bekerja di Mesir tidak terbuka buat orang-orang asing,
terlebih Mahasiswa, kecuali harus melalui prosedur kontrak resmi antar
negara.
Kesempatan
bekerja bagi mahasiswa asing biasanya hanya ada di Saudi arabiah pada
musim haji. Jangan pula membayangkan hal yang terlalu muluk, mudah
memperoleh kerja di negara tersebut, berhubung kian sulitnya birikrasi
perolehan visa kesana.
Namun,
sebaiknya berangkatlahn ke Mesir dengan niat belajar, bukan sebagai
tempat transit menuju Saudi arabiah, disamping jaminan kerja belum tentu
ada.
Visa dan Iqomah
Bagi
orang asing yang ingin mengunjungi negara lain tentu harus mendapat
izin masuk dari pemerintah negara tujuannya. Dinegara-negara arab
namanya ta’syirah. Atau lebih dikenal dengan istilah visa. Pengurusan
visa pertama ke mesir bias dilakukan dikedutaan Mesir yang berada di
Ibukota (Jakarta), atau melalui travel-travel tertentu di beberapa kota
besar.
Meskipun
dipaspor anda nantinya tercantum dua bulan visa, namun itu hanya
berlaku satu bulan saja setibanya di Mesir. Selanjutnya anda harus
memperpanjang visa dengan izin tinggal sementara dimesir sesuai aturan
yang berlaku.
Adapun
tentang izin tinggal sementara (dikenal dengan istilah iqomah
mu’aqqatah) atau recidence permite, dan di Indonesia dinamakan
Keterangan Izin Menetap Sementara atau KIMS), Mesir merupakan negara
yang paling toleran bagi pelajar serta Mahasiswa ketimbang negara-negara
Arab lainnya
Wisma Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir
Tempat
tinggal merupakan bagian yang terpenting ketika sudah mendarat di Mesir
ini, khusus warga KMKM, sudah ada penempatan untuk mahasiswa yang baru
datang, selain dapat bantuan dari KMKM, juga membuat kita merasa nyaman
untuk suasana belajar, kalau pun tidak menginginkan di wisma, KMKM juga
sudah menyiapkan beberapa rumah yang siap sedia untuk di tempati.
–salam penduduk KMKM–
1 comment:
:) subhanaullah bgs,,,like that
Post a Comment
Berkomentar berarti berpendapat
Berpendapat berarti berapresiasi
Berapresiasi berarti menghargai